life is like metamorphose, you develop from the simplest one for being the best

karena beliau pun mengingatnya...

on Sabtu, 19 November 2011
Orang bilang anakku seorang aktivis, dengan segudang aktivitas yang disebutnya amanah umat.

Orang bilang anakku seorang aktivis, tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? menurut Ibu, engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan sesuatu yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.

Anakku, kita memang berada disatu atap, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu nak? ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja, katamu sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, ingin mendengar cerita ceriamu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak, tapi bukankah aku ini ibumu? yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku.

Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?

Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat disana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal, andai saja engkau tahu nak, sejak kau ada di rahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku..

Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana profesionalitasmu untuk ibu? dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam prioritas yang kau buat?

Mungkin, waktumu terlalu mahal nak. Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..

Bukan judgement bahwa seorang aktivis sering melupakan satu amanah terpenting untuk keluarga mereka, karena saya yakin, aktivis yang paham, mereka pasti mengamalkan dan melaksanakan semua aturan dan ajaran ini secara kaffah. semoga bisa menjadi satu tamparan dan pemantik kita untuk lebih mengingat lagi posisi kita dalam keluarga.

Di kampus aktivis? betul. Namun, dalam keluarga, kita adalah tetap seorang anak yang harus bisa membagi prioritas dan membagi perhatian untuk orang terkasih.

Waktu dan ketetapan Allah tak mundur sedetik dan tak maju sedetik pun. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai. Sampaikanlah dan nyatakanlah cinta dan kasih sayang mu untuk mereka.

Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang kita. Saksikanlah Ibu, Ayah, tak ada yang lebih berarti dari ridhamu atas segala aktivitas yang ananda lakukan ini. Karena tanpa ridhamu, Mustahil kuperoleh ridha-Nya

Because He knows what you need

on Sabtu, 12 November 2011

Cerita tentang Anisa, gadis kecil yang berusia lima tahun. Suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebuah kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan tergantung dalam sebuah kotak pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi, dia tahu, pasti Ibunya akan keberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki cantik. 

Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya. 
"Ibu, bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... " 
Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten. 
"Oke, Anisa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?" 
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
"Terimakasih..., Ibu"

Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau. Setiap malam sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur.

Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya
"Anisa, Anisa sayang Enggak sama Ayah ?"
"Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu"
"Yah, jangan dong Ayah! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari nenek! Itu kesayanganku juga"
"Ya sudahlah sayang, ngga apa-apa !"
Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar Anisa.

Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi,
"Anisa, Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?"
"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah. Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini"
Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain. Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi pipinya.
"Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?"
Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangannya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya
"Kalau Ayah mau ambillah kalung Anisa"
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih, sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa.
"Anisa, ini untuk Anisa. Sama bukan? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau"
Ya, ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Anisa.

Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Allah meminta sesuatu dari kita, karena Allah berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik, menggantikan dengan sesuatu yang kita butuhkan. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa, menggenggam erat sesuatu yang kita anggap sangat berharga, dan tidak ikhlas jika harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik. Karena Allah tau yang terbaik untuk kita. Bersyukur lah karena Allah masih belum meminta satu kenikmatan terbesar dari kita, yaitu kenikmatan dapat bernapas sampai saat ini :D

calendar

clock

Profil

Foto saya
Seorang hamba Allah yang senantiasa berusaha meningkatkan kapasitas diri untuk menjadi lebih baik, agar tidak termasuk ke dalam golongan orang yang merugi

Sahabat Yang Telah Bertamu

Serpihan Cerita

Diberdayakan oleh Blogger.

ayat hari ini

"Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik." (QS. AL ISRA:19)

label

puzzle

cari